Rabu, 16 Juli 2014

so... I dont know what should I do with my new post of my blog and i'm sorry to everyone who read this blog because of my english skill is sucks than a trash can. I dont know why , I just want to express what I'm feeling about the last years of my uncomfort zone, and it's still the same until now. I'm try to express that with positif "thing" it can be anything. 
at the last years in 2013 of September, I got to my new University that I never expect. I dont have any choice besides that university because my mom really want me to go to "state university" FYI I have accepted in so many "swasta university" with good mayor that I want, but I decide to take my last choice.Unfortunatlly may be because I'm really stupid or something like that, I have try to so many test in state university and I never get a good result that can make my parents pround of me. I think that I'm really sucks as fuck ( i'm sorry abot this rude words) and in whole years I try to learn more about the test whlist I'm go to campus also. That years is really unproductive-bit productive years that I have ever had in my entire life! it's feels so damnly bad!! 
to be continued ASAP ...

Jumat, 27 Januari 2012

Analisis



SMA N 1 CIREBON

Judul cerpen : Halte
Pengarang : Bamby Cahyadi
HIDUP itu dimulai di halte, kata ayah. Aku tahu, halte tempat orang-orang menunggu, tempat orang-orang turun dan naik kendaraan umum, menuju arah dan jurusan masing-masing. Tapi, bukankah hidup itu sesungguhnya dimulai dari tempat tidur? 1
            Pagi ini, persoalan dari mana hidup itu bermula, kembali dibuka ayah. Biasanya, sebelum memulai percakapan, dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan. Lalu, ayah akan membuka sebuah forum diskusi mini, karena pesertanya hanya aku, suamiku dan kedua anakku. Sesekali ayah mengajak mbok Rah, pembantu kami, untuk bergabung. Dan biasanya, mbok Rah menjadi penengah bila diskusi kami mulai memanas hingga membuat tekanan darah ayah meninggi. 2
            Sewaktu ibu masih hidup dan aku belum berkeluarga, aku dan ibu teman diskusi ayah di meja makan. Aku sangat paham sifat ayah yang sukar disanggah. Suatu ketika, ia berbicara tentang politik, lebih tepatnya kekuasaan. “Siapapun yang memimpin bangsa ini tidak akan berhasil,” begitu kalimat pembuka ayah memulai diskusi sarapan pagi itu. Ibu tetap tenang menyantap bubur ayam hangat.3
            “Pernyataan yang sangat pesimistik, buktinya beberapa presiden telah berhasil memimpin...” balasku dengan cara menggantung kalimat. Aku ingin melihat reaksinya. 4
            “Berhasil? Coba kamu lihat, apanya yang berhasil? Apa hanya dengan berhasil memimpin kemudian presiden itu kita anggap berhasil!” Benar dugaanku, ayah langsung reaktif dengan pernyataanku. Kadang aku sering berpikir, ayah mengajak kami berdiskusi atau berdebat? Tapi aku tidak membantahnya. 5
            Pagi ini ayah menunggu kami sambil membaca koran. Aku sempat memperhatikan gurat wajahnya yang tegas menutupi keriput tua di dahi dan kantung matanya. Ia menjadi kurus sejak ibu meninggal. Alasannya sederhana; kehilangan nafsu makan, meski suatu hari ia pernah mengeluh; kehilangan nafsu hidup. 6
            “kehidupan dimulai dari halte,” gumamnya membuka percakapan, ia seolah sedang bicara pada diri sendiri.....7
            “kok bisa begitu Yah?” tanyaku, memancing agar ia berbicara lebih banyak. 8
            “Ya, memang begitu,” jawabnya. 9
            “Bukankah kehidupan itu dimulai dari ranjang, dari tempat tidur?” balasku. 10
            “Dari halte!” jawabnya lagi. 11
            “Kenapa dari halte?” nada suaraku seperti melecehkan pendapatnya. Wisnu hanya bisa senyum melihat cibiranku pada ayah. 12
            “Sesekali kalian pergilah ke halte, perhatikan apa yang terjadi di sana”, kata ayah, tanpa emosi, menutup diskusi pagi yang masih menggantung itu. 13
--***--
            Setelah menurunkan Pasya dan Rasya di gerbang sekolah mereka, aku langsung tancap gas mengantarkan Wisnu ke kantornya. Hari ini memang giliranku membawa mobil. Dalam perjalanan, aku masih penasaran tentang kehidupan uang dimulai di halte. 14
            “Menurutmu Mas, apakah Ayah baik-baik saja?” 15
            “Aku rasa Ayah berbicara filosofinya, jadi tidak ada yang aneh,” ujar Wisnu santai. 16
“Ya, aku pun berpikir seperti itu, tapi biasanya Ayah selalu menuntaskan setiap topik diskusi sarapan pagi. Eh, malah kita disuruh main ke halte.” 17
            “Tadi aku juga heran, tapi ya sudahlah. Besok juga Ayah akan mengganti topik diskusinya,” jawab Wisnu sambil senyum. Suamiku itu menjadi seperti aku, sangat paham dengan tabiat Ayah. 18
            Sepanjang perjalanan, setiap ada halte aku memperlambat laju mobilku, aku perhatikan dengan seksama ada apa di halte-halte itu. Sama seperti halte-halte lainnya, halte itu dipenuhi orang-orang yang sedang menunggu kendaraan umum, orang-orang yang sekadar istirahat, pedagang asongan dan penjual koran. Itu yang kulihat di halte. Lalu kenapa kehidupan dimulai di halte? 19
            Ponselku berdering, aku meliriknya, telepon dari rumah. Mbok Rah meneleponku. 20
            “Mbok, ada apa?” 21
            “Bapak sakit, Mbak!” 22
--***­--
Semua penghuni rumah panik. Ayah tidak berada di meja makan. Di kamar juga  tidak ada. Ke mana ayah pergi sepagi ini? Wisnu dan anak-anakku tak kalah paniknya, mereka mencari ayah, di setiap ruangan yang ada di rumah. Aku mencari di halaman sampai menanyakan pada beberapa tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka. Mbok Rah aku perintahkan mencari ayah, di pasar dekat rumah. 23
Ayah tidak kami temukan. Aku berkali-kali menghubungi ponselnya, tapi tidak berhasil. 24
Waktu sarapan pagi telah berlalu, tapi ayah tidak juga kami temukan. Aku dan Wisnu memutuskan untuk menelepon kantor tempat kami bekerja, minta ijin tidak masuk kerja hari ini. Aku berusaha menguasai keadaan. Aku tidak ingin keadaannya menjadi rumnyam karena panik. Aku menarik napas panjang, dan berusaha menenangkan diri. 25
Ke mana perginya ayah? Biasanya bila ayah akan bepergian, ia selalu memberitahuku, suamiku atau mbok Rah. Aku berusaha berpikir positif. Ayah pasti baik-baik saja dan tidak akan terjadi apa-apa dengannya. 26
Beberapa bulan setelah ibu meninggal, karena nafsu makan yang berkurang, berat badan ayah menurun drastis. Aku sangat prihatin melihat kondisi ayah. Akhirnya dengan sedikit memaksa, ia mau juga melakukan serangkaian medical check-up. Hasilnya, tidak ditemukan penyakit serius dalam tubuh ayah. Dokter hanya menyarankan ayah untuk menjalankan aktivitas hobi, sehingga pikirannya selalu segar dan perasaannya selalu terjaga. Saat itulah aku mendengar keluhan ayah kehilangan nafsu makan. 27
“Selain kehilangan nafsu makan, aku kehilangan nafsu hidupku,” katanya pelan sambil meninggalkan rumah sakit selepas berkonsultasi dengan dokter waktu itu. 28
“Apa? Ayah kehilangan nafsu hidup? Aku tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Ayah!” kataku tajam. 29
“Hmmm...Aku malas melanjutkan hidup tanpa ibumu,” ujarnya lirih. 30
‘’ Tapi anak-anakku membutuhkan Ayah, mereka sangat sayang kakeknya. Aku tidak mau dengar Ayah bicara seperti itu lagi,” suaraku tercekak sedih. Tiba-tiba aku merasa hatiku begitu pedih. 31
‘’Kamu jangan cengeng!” 32
“Bukannya Ayah yang cengeng, bicara seperti itu?” 33
“Aku hanya asal bicara, perkataanku tidak berarti. Tidak berbobot.” 34
“Tapi itu bukan pembicaraan seorang Ayahyang aku kenal!” 35
Ayah lalu meraih pundakku, kemudian ia memeluku. Aku menangis membalas pelukannya. Sudah lama sekali aku ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Bahkan sewakt ibu meninggal aku tidak melakukan hal ini. Aku meliat ayah sangat tegar, bahkan ayah tidak menangis. 36
Aku menangis berhari-hari. 37 
Apakah ayah memendam rasa sedihnya? 38
Aku tidak tahu.39
“Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?” kata Wisnu tiba-tiba, memecah keheningan yang terjadi sesaat. 40
“Belum setengah hari Ayah pergi, pasti polisi tidak akan menganggap ini kasus orang hilang, Mas,” timpalku. 41
“Lalu kita harus berbuat apa?” tanyanya. Aku menggeleng. 42
Terlintas di pikiranku tentang perkataan ayah, kehidupan dimulai di halte. Tiba-tiba aku ingat halte. Apakah ayah sekarang sedang berada di halte? 43
“Mas, ayo kia ke halte di depan jalan sana!” aku merengkuh tangan Wisnu ya, ada sebuah halte di depan jalan keluar dari kompleks perumah kami. 44
“Mau ngapain kita di halte, Shintia? Kamu jangan bertingkah bodoh seperti itu dong!” ucap Wisnu sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkahku tangannya masih aku genggam. 45
“Kita cari ayah di sana,” kataku dengan sangat yakin. 46
Sesampai di halte kami tidak menemukan ayah. Halte lengang. Aku dan Wisnu kemudian duduk sambil menatap kosong ke jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan bermotor. 47
Matahari semakin miring ke arah barat, sore pun tiba. Aku dan Wisnu masih duduk terpaku di halte, persis orang yang aku lihat di halte sepanjang jalan ke kantor kemarin saat aku memerhatikan detil halte yang kulewati, orang yang duduk tanpa tujuan. 48
Dalam kebisingan suara kendaraan bermotor, aku merasakan bumi berhenti berputar. Aku merasakan seolah tidak ada kehidupan, dunia tiba-tiba menjadi begitu hampa. 49
Aku makin terdiam, aku melihat seorang bayi di turunkan di halte ini, ai daisambut oleh sepasang suami istri dengan penuh kegembiraan. Kendaraan yang membawa bayi itu melesat cepat. Kemudian aku melihat jug seorang laki-laki muda menaiki kendaraan yang berhenti di depannya, pemuda iyu di antar oleh kedua orangtuanya sambil menangis. Kenapa mereka menangis? Kenapa orang tuanya tidak ikut serta? 50
“Mas, kamu lihat itu tidak?” tanyaku pada Wisnu. Suamiku menggeleng heran. 51
“Shinta, kita harus pulang,” suara Wisnu membuyarkan lamunanku. 52
“Tidak, kita tunggu sampai ayah datang,” kataku. 53
“Ayo Shinta, kita tidak tahu Ayah ke mana, sekaraang saatnya kita lapor polisi!” 54
Ada rasa lelah yang luar biasa dalam kata-kata Wisnu. 55
Sebentar lagi malam tiba. Belum ada tanda-tanda ayah akan turun di halte ini. Tapi aku sangat yakin, ayah akan turun di halte ini. Namun keyakinanku sia-sia, sepertinya aku harus menuju ke kantor polisi melaporkan bahwa ayahku hilang. Perasaanku berkecamuk saat hendak meninggalkan halte. 56
Sebuah bus kota berbadan besar berhenti di halte ketika aku dan Wisnu beranjak berjalan dengan langkah gontai, rasanya lelah sekali menunggu tanpa kepastian. 57
“Shinta.....!” seorang memanggil namaku. 58
Aku sangat mengenal suara itu. Suara ayah. Aku dan Wisnu meoleh ke belakang ke arah suara panggilan datang. Ayah baru saja turun dari bus berbadan besar. 59
“Ayah...........” aku menjerit berlari menghampiri ayah, memeluknya, menciumnya. Aku menangis. 60
“Ayah dari mana?” tanyaku sambil mengusap air mata yang jatuh. 61
“Shinta, aku hari ini ke kuburan Ibumu sekaligus ayah ingin membuktikan, bahwa kehidupan itu dimulai di halte ini,” katanya menerawang. 62
“Tapi ayah membuat semua orang jadi cemas dan panik,” 63
“Shinta, aku ingin kamu tahu bahwa kehidupan itu seperti di halte, tempat orang datang dan pergi ke tujuanya masing-masing.” Ayah berhenti berbicara sejenak memandang ke arah  halte. 64
“Datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraan.” Ayah mengakhiri perkataannya dan menggandeng tanganku pulang. Seketika itu aku tersadar. 65
Ayah tersenyum sambil mengelus-ngelus tanganku, senyumnya sangat kuat dari balik masker oksigen yang dikenakannya. Rupanya sedari tadi aku tidak berada di halte, tapi di rumah sakit, tertidur menunggui ayah yang sedang sakit. 66
Aku terus berpikir, merenungkan makna kata-kata ayah dalam mimpiku.67
Sepertinya topik kehidupan dimulai di halte masih akan menjadi bahan diskusi sarapan pagi kami di hari yang lain. Aku tersenyum. 68

--***­--


Analisis cerpen
Judul               : Halte
Pengarang       : Bamby Cahyadi

A.        Tema cerpen Halte adalah arti kehidupan
B.        Tokoh dan Penokohan
Mengenai tokoh dan penokohan dalam cerpen “Halte” terdapat beberapa tokoh, diantaranya :
1.      Pada tokoh Aku dalam cerita adalah tokoh utama pelaku sampingan. Perwatakan dari tokoh aku disini dikategorikan baik, penyayang dan penuh perhatian dalam artian tokoh Aku berperan protagonis. Terlihat seperti pada pemaparan pada kalimat ini Ayah lalu meraih pundakku, kemudian ia memeluku. Aku menangis membalas pelukannya. Sudah lama sekali aku ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Bahkan sewakt ibu meninggal aku tidak melakukan hal ini. Aku meliat ayah sangat tegar, bahkan ayah tidak menangis. Dalam pemaparan tersebut terlihat tokoh Aku begitu sayang pada sang Ayah.
2.      Tokoh Ayah, dan Wisnu,  dalam cerita adalah pelaku sampingan (pembantu). Perwatakan mereka dikategorikan baik, dan penuh perhatian juga termasuk protagonis. Terlihat dalam kalimat Semua penghuni rumah panik. Ayah tidak berada di meja makan. Di kamar juga  tidak ada. Ke mana ayah pergi sepagi ini? Wisnu dan anak-anakku tak kalah paniknya, mereka mencari ayah, di setiap ruangan yang ada di rumah. Aku mencari di halaman sampai menanyakan pada beberapa tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka.  Dalam kutipan tersebut tokoh Wisnu memperlihatkan bagaimana kepedulian dan kasih sayang  pada sang Ayah. Sedangkan ayah berwatak keras kepala dan sangat mencintai keluarganya terlihat dalam kalimat.......... “Aku sangat paham sifat ayah yang sukar disanggah.” “dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan” “Ayah tersenyum sambil mengelus-ngelus tanganku, senyumnya sangat kuat dari balik masker oksigen yang dikenakannya.”

3.      Pada tokoh mboh Rah, Pasya dan Rasya dalam cerpen ini berlakon sebagai pelaku figuran. Mbok Rah , Pasya dan Rasya penurut perhatian dan baik terlihat seperti pada situasi berikut anak-anakku tak kalah paniknya, mereka mencari ayah, di setiap ruangan yang ada di rumah. Mbok Rah aku perintahkan mencari ayah, di pasar dekat rumah. Dalam pemaparan tersebut terlihat jelas bagaimana mbok Rah Pasya dan Rasya memberikan segala curahan kasih sayang dan kepeduliannya  kepada sang Ayah .

C.        Sudut Pandang
Dilihat dari sudut pandang penulisan, pengarang mengambil sudut pandang orang pertama pelaku sampingan. Seperti contoh pada :
1.      Paragraf 1Hidup itu dimulai di halte, kata ayah. Aku tahu, halte tempat orang-orang menunggu.”(Bamby Cahyadi:89)
2.      Paragraf 3 “Sewaktu ibu masih hidup dan aku belum berkeluarga, aku dan ibu teman diskusi ayah di meja makan. Aku sangat paham sifat ayah yang sukar disanggah.”(Bamby Cahyadi:89)
3.      Paragraf 14 “Hari ini memang giliranku membawa mobil. Dalam perjalanan, aku masih penasaran tentang kehidupan yang dimulai di halte”(Bamby Cahyadi :91)
4.      Paragraf 17 “Ya, aku pun berpikir seperti itu, tapi biasanya Ayah selalu menuntaskan setiap topik diskusi sarapan pagi. Eh, malah kita disuruh main ke halte.”(Bamby Cahyadi :91)
5.      Paragraf 20 “Ponselku berdering, aku meliriknya, telepon dari rumah. Mbok Rah meneleponku.”(Bamby Cahyadi :91)




D.        Alur cerita
Penggunaan alur atau plot dalam cerpen “Halte” adalah alur  maju
1.      Pada awal cerita ini, tokoh aku menceritakan kebiasaan sang Ayah yang suka membuka forum diskusi mini pada saat sarapan pagi dan situasi pada saat terjadi diskusi tersebut telihat pada pemaparan berikut
“Pagi ini, persoalan dari mana hidup itu bermula, kembali dibuka ayah. Biasanya, sebelum memulai percakapan, dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan. Lalu, ayah akan membuka sebuah forum diskusi mini, karena pesertanya hanya aku, suamiku dan kedua anakku. Sesekali ayah mengajak mbok Rah, pembantu kami, untuk bergabung. Dan biasanya, mbok Rah menjadi penengah bila diskusi kami mulai memanas hingga membuat tekanan darah ayah meninggi” 2 (Bamby Cahyadi :89)

2.      Pengenalan konflik ditandai dengan adanya perselihan pendapat dalam forum diskusi. Cerita ini mulai menggugah penasaran para pembaca pada saat percakapan sang Anak dan Ayah sedang membicarakan bahwa hidup itu di mulai di hate. Berikut percakapan tersebut
“kehidupan dimulai dari halte,” gumamnya membuka percakapan, ia seolah sedang bicara pada diri sendiri.....7
“kok bisa begitu Yah?” tanyaku, memancing agar ia berbicara lebih banyak. 8
             “Ya, memang begitu,” jawabnya. 9
                         “Bukankah kehidupan itu dimulai dari ranjang, dari tempat tidur?” balasku. 10
                          “Dari halte!” jawabnya lagi. 11
“Kenapa dari halte?” nada suaraku seperti melecehkan pendapatnya. Wisnu hanya bisa senyum melihat cibiranku pada ayah. 12
“Sesekali kalian pergilah ke halte, perhatikan apa yang terjadi di sana”, kata ayah, tanpa emosi, menutup diskusi pagi yang masih menggantung itu 13 (Bamby Cahyadi :90)

3.      Pada tingkatan ini, tensi para pembaca mulai meninggi. Hal tersebut di karenakan adanya permasalahan dimana tokoh Ayah menghilang begitu saja dari rumah. Selain hal tersebut, rasa penasaran sang anak tidak berujung sampai di situ ternyata sang anak mengunjungi halte sesuai perintah ayahnya,  berikut situasi tersebut
“Sepanjang perjalanan, setiap ada halte aku memperlambat laju mobilku, aku perhatikan dengan seksama ada apa di halte-halte itu”19 (Bamby Cahyadi :91)

4.      Tahap penyelesaian pada cerita ini dibuktikan dengan bertemunya tokoh Shinta dengan sang ayah tepat di depan halte. Hal tersebut terlihat seperti kondisi berikut ..
Sebuah bus kota berbadan besar berhenti di halte ketika aku dan Wisnu beranjak berjalan dengan langkah gontai, rasanya lelah sekali menunggu tanpa kepastian. 57
“Shinta.....!” seorang memanggil namaku. 58
Aku sangat mengenal suara itu. Suara ayah. Aku dan Wisnu meoleh ke belakang ke arah suara panggilan datang. Ayah baru saja turun dari bus berbadan besar 59 (Bamby Cahyadi:94)

5.      Pada akhir cerita ini Shinta mulai mengetahui arti “Halte” sesungguhnya. Tokoh Ayah menceritakan bahwa Halte merupakan tempat orang-orang turun dan naik kendaraan umum, menuju arah dan jurusan masing-masing, dalam artian disini Halte merupakan tempat datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraannya. Terlihat seperti pada kalimat ..........
“Shinta, aku ingin kamu tahu bahwa kehidupan itu seperti di halte, tempat orang datang dan pergi ke tujuanya masing-masing.” Ayah berhenti berbicara sejenak memandang ke arah  halte.64
“Datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraan.” Ayah mengakhiri perkataannya dan menggandeng tanganku pulang. Seketika itu aku tersadar . 65 (Bamby Cahyadi:95)
Namun pada akhir bagian ini, diceritakan bahwa tokoh Shinta hanya bermimpi. Kondisi tersebut yang membuat para pembacanya merasa tercengang. Tetapi ini bukan hal yang buruk, ketika Shinta mulai mengambil petikan dari mimpi tersebut dan bisa memaknai arti kehidupan sebenarnya.
E.         Latar atau setting
Adapun latar atau setting yang terdapat pada cerita tersebut adalah :
1.                  Di ruang makan
“Dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan.”
2.                  Di sekolah
“Setelah menurunkan Pasya dan Rasya di gerbang sekolah”
3.                  Halte
“ setiap ada halte aku memperlambat laju mobilku, aku perhatikan dengan seksama ada apa di halte-halte itu. Sama seperti halte-halte lainnya, halte itu dipenuhi orang-orang yang sedang menunggu kendaraan umum, orang-orang yang sekadar istirahat, pedagang asongan dan penjual koran. Itu yang kulihat di halte”. ’Sesampai di halte kami tidak menemukan ayah”
4.                  Suasana tegang
Ponselku berdering, aku meliriknya, telepon dari rumah. Mbok Rah meneleponku.
“Mbok, ada apa?”
“Bapak sakit, Mbak!”
5.                  Suasana panik
“Semua penghuni rumah panik. Ayah tidak berada di meja makan. Di kamar juga  tidak ada. Ke mana ayah pergi sepagi ini?”
6.                  Suasana haru
“Ayah lalu meraih pundakku, kemudian ia memeluku. Aku menangis membalas pelukannya. Sudah lama sekali aku ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Bahkan sewakt ibu meninggal aku tidak melakukan hal ini. Aku meliat ayah sangat tegar, bahkan ayah tidak menangis.
Aku menangis berhari-hari”
7.                  Sore hari
“Matahari semakin miring ke arah barat, sore pun tiba.” dan “Sebentar lagi malam tiba”

8.                  Rumah sakit
“Rupanya sedari tadi aku tidak berada di halte, tapi di rumah sakit, tertidur menunggui ayah yang sedang sakit.”
F.         Majas atau Gaya Bahasa
Penulis dalam menceritakan isi cerita ada yang  menggunakan gaya bahasa atau majas, diantaranya :

1.      Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan , yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia.1
Contohnya “ tanyaku, memancing agar ia berbicara lebih banyak”













www.sentra-edukasi.com/2009/09/definisi-pengertian-contoh-majas-majas.html Diakses pada tanggal 18 Januari 2012 pukul 20.27 WIB



G.        Nilai yang Terkandung
Sedangkan nilai yang terkandung dalam cerita pendek “Halte” diantaranya adalah :
1.      Nilai Moral, terlihat pada kalimat
“Biasanya, sebelum memulai percakapan, dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan” 2 (Bamby Cahyadi:89)  “Sesekali ayah mengajak mbok Rah, pembantu kami, untuk bergabung. Dan biasanya, mbok Rah menjadi penengah bila diskusi kami mulai memanas hingga membuat tekanan darah ayah meninggi” 2 (Bamby Cahyadi:89)
 “Datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraan.” 65 (Bamby Cahyadi:95)
2.      Nilai Sosial, terlihat pada kalimat
“Aku mencari di halaman sampai menanyakan pada beberapa tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka. Mbok Rah aku perintahkan mencari ayah, di pasar dekat rumah” 23 (Bamby Cahyadi:91)
3.      Nilai Kemanusiaan, terlihat pada kalimat
 “Aku menangis membalas pelukannya. Sudah lama sekali aku ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di pelukannya” 36 (Bamby Cahyadi: 93)
 “Ayah tersenyum sambil mengelus-ngelus tanganku, senyumnya sangat kuat dari balik masker oksigen yang dikenakannya” 66 (Bamby Cahyadi:95)

H.        Amanat
Adapun amanat yang terkandung dalam cerpen “Halte” yaitu menceritakan bahwa Halte merupakan tempat orang-orang turun dan naik kendaraan umum, menuju arah dan jurusan masing-masing, dalam artian disini Halte merupakan tempat datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraannya.

I.          Ringkasan Cerita
            Ini lah salah satu cerpen karya Bamby Cahyadi cerpen Halte adalah  cerpen yang sangat kuat menggugah kesadaran batin pembaca akan hakikat hidup manusia. Dalam Halte, rasa ingin tahu kita dipancing terus. Mengapa sang ayah yang uzur dalam cerita ini selalu menganggap halte sebagai sebuah tempat yang penting ?
Cerpen ini menceritakan tentang seorang ayah yang senang membuka forum diskusi mini dengan keluarganya. Suatu ketika dimana  keluraga itu sedang berkumpul untuk sarapan ayah memulai diskusi mininya tersebut. Dalam diskusinya ayah beranggapan bahwa kehidupan dimulai dari halte, namun anaknya tidak setuju dengan pendapat ayahnya. Kenapa kehidupan dimulai dari halte?. Kemudian sang ayah menyuruh anaknya untuk pergi ke halte.
Keesokan harinya sang anak membuktikan dengan datang ke halte dekat rumahnya. Ia tidak melihat apapun yang ayah maksudkan. Ia hanya melihat orang yang berdagang di pinggir jalan dan orang yang berlalu-lalang. Sebenarnya apa maksud ayah? Memang sebelumnya ayah pernah mengatkan bahwa ayah tidak memiliki nafsu untuk hidup. Tiba-tiba sang anak mendapat telepon dari pembantunya bahwa ayah jatuh sakit, ia pun langsung tancap gas menuju rumah. Sesampainya di rumah sang anak tidak menemukan ayahnya disana. Semua orang panik, kemana ayah pergi? Sang anak langsung berpikir tentang diskusi ayahnya kemarin pagi,”bahwa kehidupam dimulai dari halte”. Akhinya sang anak pergi ke halte untuk mencari ayahnya namun apa yang di dapat, sang ayah tidak berada disana sampai matahari tenggelam. Sebelum Shintia beranjak pulang, sang ayah memanggilnya dari kejauhan. Ternyata sang ayah baru turun dari bis yang ia tumpangi. Rasa cemas sekaligus haru bercampur, Sintia langsung menghambur memeluk ayahnya erat-erat.
Seketika itu Shintia tersadar. Ayahnya tersenyum sambil mengelus-ngelus tangan Shintia, senyumnya sangat kuat dari balik masker oksigen yang dikenakannya. Rupanya sedari tadi Shinti tidak berada di halte, tapi di rumah sakit , menunggui ayahnya yang sedang sakit. Ia teringat kata-kata ayahnya “ Shintia, aku ingin kamu tahu bahwa kehidupan itu seperti di halte, tempat orang datang dan pergi ke tujuannya masing-masing.  “ , dia terus berfikir , merenungkan makna kata-kata ayahnya dalam mimpinya. Shintia tersenyum.





J.          Kesimpulan dari analisis
Cerpen “Hlate” karya Bamby Cahyadi ini merupakan cerpen yang sangat kuat menggugah kesadaran batin para pembaca akan hakikat hidup manusia. Dalam Halte, rasa ingin tahu kita dipancing terus: Mengapa sang ayah yang uzur dalam cerita selalu menganggap halte sebagai sebuah tempat yang penting?
Namun pada akhir bagian cerpen ini , diceritakan bahwa semua itu hanya mimpi. Kondisi tersebut yang membuat para pembacanya merasa tercengang Disinilah keunikan cerpen Halte yang di garap oleh Bamby Cahyadi membangkitkan suatu kesadaran akan berbagai sisi kehidupan manusia yang mirip dengan apa yang pernah kita alami dan juga mengajak kita untuk berimajinasi. Itulah yang membuatnya berhasil menarik minat para pembaca .

Kamis, 03 November 2011

Rocket To the Moon - Just Another One

She started dancing at the second that she heard the music play
(She's always moving)
She looks at me but then I look back at her
She turns away
(She knows exactly what she's doing)

She moves closer and I'm thinking to myself that she's all mine
(She's all mine)
We start talking and she takes my hand like she does this all the time

Go! Go! Go!
You never had the time because you move too slow
And I know, know, know
That she could care less about love
It's just for fun
I'm just another one

I'm just a notch in her belt
It's laying on the floor
I know her so well
Call me crazy but I'm thinking to myself that I can't do this anymore

And she knows how to break me down 
And she knows how to break me down

And shes low, low, low!
She always keeps me waiting cause shes so shallow
And oh, oh, oh!
The only thing she ever said
Besides I think we're done
I'm just another one

Cause she can't
Ever fall in love
Cause this is who she is
And this is all she knows

Go Go Go
You never had the time because you move too slow
I know, know, know
That she could care less about love
It's just for fun
I'm just another one

I'm just another one

And I could care less about her
She's just another one <