SMA N 1 CIREBON
Judul cerpen : Halte
Pengarang : Bamby
Cahyadi
HIDUP itu dimulai di
halte, kata ayah. Aku tahu, halte tempat orang-orang menunggu, tempat
orang-orang turun dan naik kendaraan umum, menuju arah dan jurusan
masing-masing. Tapi, bukankah hidup itu sesungguhnya dimulai dari tempat tidur?
1
Pagi ini, persoalan dari mana hidup itu bermula, kembali
dibuka ayah. Biasanya, sebelum memulai percakapan, dengan sabar ia akan
menunggu kami berkumpul di meja makan. Lalu, ayah akan membuka sebuah forum
diskusi mini, karena pesertanya hanya aku, suamiku dan kedua anakku. Sesekali
ayah mengajak mbok Rah, pembantu kami, untuk bergabung. Dan biasanya, mbok Rah
menjadi penengah bila diskusi kami mulai memanas hingga membuat tekanan darah
ayah meninggi. 2
Sewaktu ibu masih hidup dan aku belum berkeluarga, aku
dan ibu teman diskusi ayah di meja makan. Aku sangat paham sifat ayah yang
sukar disanggah. Suatu ketika, ia berbicara tentang politik, lebih tepatnya
kekuasaan. “Siapapun yang memimpin bangsa ini tidak akan berhasil,” begitu
kalimat pembuka ayah memulai diskusi sarapan pagi itu. Ibu tetap tenang
menyantap bubur ayam hangat.3
“Pernyataan yang sangat pesimistik, buktinya beberapa
presiden telah berhasil memimpin...” balasku dengan cara menggantung kalimat.
Aku ingin melihat reaksinya. 4
“Berhasil? Coba kamu lihat, apanya yang berhasil? Apa
hanya dengan berhasil memimpin kemudian presiden itu kita anggap berhasil!”
Benar dugaanku, ayah langsung reaktif dengan pernyataanku. Kadang aku sering
berpikir, ayah mengajak kami berdiskusi atau berdebat? Tapi aku tidak
membantahnya. 5
Pagi ini ayah menunggu kami sambil membaca koran. Aku
sempat memperhatikan gurat wajahnya yang tegas menutupi keriput tua di dahi dan
kantung matanya. Ia menjadi kurus sejak ibu meninggal. Alasannya sederhana;
kehilangan nafsu makan, meski suatu hari ia pernah mengeluh; kehilangan nafsu
hidup. 6
“kehidupan dimulai dari halte,” gumamnya membuka
percakapan, ia seolah sedang bicara pada diri sendiri.....7
“kok bisa
begitu Yah?” tanyaku, memancing agar ia berbicara lebih banyak. 8
“Ya, memang begitu,” jawabnya. 9
“Bukankah kehidupan itu dimulai dari ranjang, dari tempat
tidur?” balasku. 10
“Dari halte!” jawabnya lagi. 11
“Kenapa dari halte?” nada suaraku seperti melecehkan
pendapatnya. Wisnu hanya bisa senyum melihat cibiranku pada ayah. 12
“Sesekali kalian pergilah ke halte, perhatikan apa yang
terjadi di sana”, kata ayah, tanpa emosi, menutup diskusi pagi yang masih
menggantung itu. 13
--***--
Setelah menurunkan Pasya dan Rasya di gerbang sekolah
mereka, aku langsung tancap gas mengantarkan Wisnu ke kantornya. Hari ini
memang giliranku membawa mobil. Dalam perjalanan, aku masih penasaran tentang
kehidupan uang dimulai di halte. 14
“Menurutmu Mas, apakah Ayah baik-baik saja?” 15
“Aku rasa Ayah berbicara filosofinya, jadi tidak ada yang
aneh,” ujar Wisnu santai. 16
“Ya,
aku pun berpikir seperti itu, tapi biasanya Ayah selalu menuntaskan setiap
topik diskusi sarapan pagi. Eh, malah kita disuruh main ke halte.” 17
“Tadi aku juga heran, tapi ya sudahlah. Besok juga Ayah
akan mengganti topik diskusinya,” jawab Wisnu sambil senyum. Suamiku itu
menjadi seperti aku, sangat paham dengan tabiat Ayah. 18
Sepanjang perjalanan, setiap ada halte aku memperlambat
laju mobilku, aku perhatikan dengan seksama ada apa di halte-halte itu. Sama
seperti halte-halte lainnya, halte itu dipenuhi orang-orang yang sedang
menunggu kendaraan umum, orang-orang yang sekadar istirahat, pedagang asongan
dan penjual koran. Itu yang kulihat di halte. Lalu kenapa kehidupan dimulai di halte? 19
Ponselku berdering, aku meliriknya, telepon dari rumah.
Mbok Rah meneleponku. 20
“Mbok, ada apa?” 21
“Bapak sakit, Mbak!” 22
--***--
Semua
penghuni rumah panik. Ayah tidak berada di meja makan. Di kamar juga tidak ada. Ke mana ayah pergi sepagi ini?
Wisnu dan anak-anakku tak kalah paniknya, mereka mencari ayah, di setiap
ruangan yang ada di rumah. Aku mencari di halaman sampai menanyakan pada
beberapa tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka. Mbok Rah
aku perintahkan mencari ayah, di pasar dekat rumah. 23
Ayah
tidak kami temukan. Aku berkali-kali menghubungi ponselnya, tapi tidak
berhasil. 24
Waktu
sarapan pagi telah berlalu, tapi ayah tidak juga kami temukan. Aku dan Wisnu
memutuskan untuk menelepon kantor tempat kami bekerja, minta ijin tidak masuk
kerja hari ini. Aku berusaha menguasai keadaan. Aku tidak ingin keadaannya
menjadi rumnyam karena panik. Aku menarik napas panjang, dan berusaha
menenangkan diri. 25
Ke mana perginya ayah? Biasanya
bila ayah akan bepergian, ia selalu memberitahuku, suamiku atau mbok Rah. Aku
berusaha berpikir positif. Ayah pasti baik-baik saja dan tidak akan terjadi
apa-apa dengannya. 26
Beberapa
bulan setelah ibu meninggal, karena nafsu makan yang berkurang, berat badan
ayah menurun drastis. Aku sangat prihatin melihat kondisi ayah. Akhirnya dengan
sedikit memaksa, ia mau juga melakukan serangkaian medical check-up. Hasilnya, tidak ditemukan penyakit serius dalam
tubuh ayah. Dokter hanya menyarankan ayah untuk menjalankan aktivitas hobi,
sehingga pikirannya selalu segar dan perasaannya selalu terjaga. Saat itulah
aku mendengar keluhan ayah kehilangan nafsu makan. 27
“Selain
kehilangan nafsu makan, aku kehilangan nafsu hidupku,” katanya pelan sambil
meninggalkan rumah sakit selepas berkonsultasi dengan dokter waktu itu. 28
“Apa?
Ayah kehilangan nafsu hidup? Aku tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut
Ayah!” kataku tajam. 29
“Hmmm...Aku
malas melanjutkan hidup tanpa ibumu,” ujarnya lirih. 30
‘’
Tapi anak-anakku membutuhkan Ayah, mereka sangat sayang kakeknya. Aku tidak mau
dengar Ayah bicara seperti itu lagi,” suaraku tercekak sedih. Tiba-tiba aku
merasa hatiku begitu pedih. 31
‘’Kamu
jangan cengeng!” 32
“Bukannya
Ayah yang cengeng, bicara seperti itu?” 33
“Aku
hanya asal bicara, perkataanku tidak berarti. Tidak berbobot.” 34
“Tapi
itu bukan pembicaraan seorang Ayahyang aku kenal!” 35
Ayah
lalu meraih pundakku, kemudian ia memeluku. Aku menangis membalas pelukannya.
Sudah lama sekali aku ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di
pelukannya. Bahkan sewakt ibu meninggal aku tidak melakukan hal ini. Aku meliat
ayah sangat tegar, bahkan ayah tidak menangis. 36
Aku
menangis berhari-hari. 37
Apakah
ayah memendam rasa sedihnya? 38
Aku
tidak tahu.39
“Bagaimana
kalau kita lapor polisi saja?” kata Wisnu tiba-tiba, memecah keheningan yang
terjadi sesaat. 40
“Belum
setengah hari Ayah pergi, pasti polisi tidak akan menganggap ini kasus orang
hilang, Mas,” timpalku. 41
“Lalu
kita harus berbuat apa?” tanyanya. Aku menggeleng. 42
Terlintas
di pikiranku tentang perkataan ayah, kehidupan dimulai di halte. Tiba-tiba aku
ingat halte. Apakah ayah sekarang sedang berada di halte? 43
“Mas,
ayo kia ke halte di depan jalan sana!” aku merengkuh tangan Wisnu ya, ada
sebuah halte di depan jalan keluar dari kompleks perumah kami. 44
“Mau
ngapain kita di halte, Shintia? Kamu
jangan bertingkah bodoh seperti itu dong!”
ucap Wisnu sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkahku tangannya
masih aku genggam. 45
“Kita
cari ayah di sana,” kataku dengan sangat yakin. 46
Sesampai
di halte kami tidak menemukan ayah. Halte lengang. Aku dan Wisnu kemudian duduk
sambil menatap kosong ke jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan bermotor. 47
Matahari
semakin miring ke arah barat, sore pun tiba. Aku dan Wisnu masih duduk terpaku
di halte, persis orang yang aku lihat di halte sepanjang jalan ke kantor
kemarin saat aku memerhatikan detil halte yang kulewati, orang yang duduk tanpa
tujuan. 48
Dalam
kebisingan suara kendaraan bermotor, aku merasakan bumi berhenti berputar. Aku
merasakan seolah tidak ada kehidupan, dunia tiba-tiba menjadi begitu hampa. 49
Aku makin terdiam, aku melihat
seorang bayi di turunkan di halte ini, ai daisambut oleh sepasang suami istri
dengan penuh kegembiraan. Kendaraan yang membawa bayi itu melesat cepat.
Kemudian aku melihat jug seorang laki-laki muda menaiki kendaraan yang berhenti
di depannya, pemuda iyu di antar oleh kedua orangtuanya sambil menangis. Kenapa
mereka menangis? Kenapa orang tuanya tidak ikut serta? 50
“Mas,
kamu lihat itu tidak?” tanyaku pada Wisnu. Suamiku menggeleng heran. 51
“Shinta,
kita harus pulang,” suara Wisnu membuyarkan lamunanku. 52
“Tidak,
kita tunggu sampai ayah datang,” kataku. 53
“Ayo
Shinta, kita tidak tahu Ayah ke mana, sekaraang saatnya kita lapor polisi!” 54
Ada
rasa lelah yang luar biasa dalam kata-kata Wisnu. 55
Sebentar
lagi malam tiba. Belum ada tanda-tanda ayah akan turun di halte ini. Tapi aku
sangat yakin, ayah akan turun di halte ini. Namun keyakinanku sia-sia,
sepertinya aku harus menuju ke kantor polisi melaporkan bahwa ayahku hilang.
Perasaanku berkecamuk saat hendak meninggalkan halte. 56
Sebuah
bus kota berbadan besar berhenti di halte ketika aku dan Wisnu beranjak
berjalan dengan langkah gontai, rasanya lelah sekali menunggu tanpa kepastian.
57
“Shinta.....!”
seorang memanggil namaku. 58
Aku
sangat mengenal suara itu. Suara ayah. Aku dan Wisnu meoleh ke belakang ke arah
suara panggilan datang. Ayah baru saja turun dari bus berbadan besar. 59
“Ayah...........”
aku menjerit berlari menghampiri ayah, memeluknya, menciumnya. Aku menangis. 60
“Ayah
dari mana?” tanyaku sambil mengusap air mata yang jatuh. 61
“Shinta,
aku hari ini ke kuburan Ibumu sekaligus ayah ingin membuktikan, bahwa kehidupan
itu dimulai di halte ini,” katanya menerawang. 62
“Tapi
ayah membuat semua orang jadi cemas dan panik,” 63
“Shinta,
aku ingin kamu tahu bahwa kehidupan itu seperti di halte, tempat orang datang
dan pergi ke tujuanya masing-masing.” Ayah berhenti berbicara sejenak memandang
ke arah halte. 64
“Datang
untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraan.”
Ayah mengakhiri perkataannya dan menggandeng tanganku pulang. Seketika itu aku
tersadar. 65
Ayah
tersenyum sambil mengelus-ngelus tanganku, senyumnya sangat kuat dari balik
masker oksigen yang dikenakannya. Rupanya sedari tadi aku tidak berada di halte,
tapi di rumah sakit, tertidur menunggui ayah yang sedang sakit. 66
Aku
terus berpikir, merenungkan makna kata-kata ayah dalam mimpiku.67
Sepertinya
topik kehidupan dimulai di halte masih akan menjadi bahan diskusi sarapan pagi
kami di hari yang lain. Aku tersenyum. 68
--***--
Analisis
cerpen
Judul :
Halte
Pengarang : Bamby Cahyadi
A. Tema cerpen Halte adalah arti kehidupan
B. Tokoh dan Penokohan
Mengenai tokoh
dan penokohan dalam cerpen “Halte” terdapat beberapa tokoh, diantaranya :
1.
Pada tokoh Aku dalam cerita adalah tokoh
utama pelaku sampingan. Perwatakan dari tokoh aku disini dikategorikan baik,
penyayang dan penuh perhatian dalam artian tokoh Aku berperan protagonis.
Terlihat seperti pada pemaparan pada kalimat ini Ayah lalu meraih pundakku,
kemudian ia memeluku. Aku menangis membalas pelukannya. Sudah lama sekali aku
ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Bahkan
sewakt ibu meninggal aku tidak melakukan hal ini. Aku meliat ayah sangat tegar,
bahkan ayah tidak menangis. Dalam pemaparan tersebut terlihat tokoh Aku
begitu sayang pada sang Ayah.
2. Tokoh
Ayah, dan Wisnu, dalam cerita adalah
pelaku sampingan (pembantu). Perwatakan mereka dikategorikan baik, dan penuh
perhatian juga termasuk protagonis. Terlihat dalam kalimat Semua penghuni rumah panik. Ayah
tidak berada di meja makan. Di kamar juga
tidak ada. Ke mana ayah pergi sepagi ini? Wisnu dan anak-anakku tak
kalah paniknya, mereka mencari ayah, di setiap ruangan yang ada di rumah. Aku
mencari di halaman sampai menanyakan pada beberapa tetangga yang kebetulan
sedang berada di depan rumah mereka. Dalam
kutipan tersebut tokoh Wisnu memperlihatkan bagaimana kepedulian dan kasih
sayang pada sang Ayah. Sedangkan ayah
berwatak keras kepala dan sangat mencintai keluarganya terlihat dalam
kalimat.......... “Aku sangat paham sifat ayah yang sukar
disanggah.” “dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan”
“Ayah
tersenyum sambil mengelus-ngelus tanganku, senyumnya sangat kuat dari balik
masker oksigen yang dikenakannya.”
3. Pada
tokoh mboh Rah, Pasya dan Rasya dalam cerpen ini berlakon sebagai pelaku
figuran. Mbok Rah , Pasya dan Rasya penurut perhatian dan baik terlihat seperti
pada situasi berikut anak-anakku tak kalah paniknya,
mereka mencari ayah, di setiap ruangan yang ada di rumah. Mbok Rah aku perintahkan mencari ayah, di
pasar
dekat rumah. Dalam pemaparan tersebut terlihat
jelas bagaimana mbok Rah Pasya dan Rasya memberikan segala curahan kasih sayang
dan kepeduliannya kepada sang Ayah .
C. Sudut Pandang
Dilihat dari sudut
pandang penulisan, pengarang mengambil sudut pandang orang pertama pelaku
sampingan. Seperti contoh pada :
1. Paragraf
1 “Hidup
itu dimulai di halte, kata ayah. Aku tahu, halte tempat orang-orang menunggu.”(Bamby
Cahyadi:89)
2. Paragraf
3 “Sewaktu
ibu masih hidup dan aku belum berkeluarga, aku dan ibu teman diskusi ayah di meja
makan. Aku sangat paham sifat ayah yang sukar disanggah.”(Bamby
Cahyadi:89)
3. Paragraf
14 “Hari
ini memang giliranku membawa mobil. Dalam perjalanan, aku masih penasaran
tentang kehidupan yang dimulai di halte”(Bamby Cahyadi :91)
4. Paragraf
17 “Ya,
aku pun berpikir seperti itu, tapi biasanya Ayah selalu menuntaskan setiap
topik diskusi sarapan pagi. Eh, malah kita disuruh main ke halte.”(Bamby
Cahyadi :91)
5. Paragraf
20 “Ponselku
berdering, aku meliriknya, telepon dari rumah. Mbok Rah meneleponku.”(Bamby
Cahyadi :91)
D. Alur
cerita
Penggunaan alur
atau plot dalam cerpen “Halte” adalah alur maju
1.
Pada awal cerita ini, tokoh aku
menceritakan kebiasaan sang Ayah yang suka membuka forum diskusi mini pada saat
sarapan pagi dan situasi pada saat terjadi diskusi tersebut telihat pada
pemaparan berikut
“Pagi ini, persoalan dari mana hidup itu bermula, kembali
dibuka ayah. Biasanya, sebelum memulai percakapan, dengan sabar ia akan
menunggu kami berkumpul di meja makan. Lalu, ayah akan membuka sebuah forum
diskusi mini, karena pesertanya hanya aku, suamiku dan kedua anakku. Sesekali
ayah mengajak mbok Rah, pembantu kami, untuk bergabung. Dan biasanya, mbok Rah
menjadi penengah bila diskusi kami mulai memanas hingga membuat tekanan darah
ayah meninggi” 2 (Bamby Cahyadi
:89)
2.
Pengenalan konflik ditandai dengan
adanya perselihan pendapat dalam forum diskusi. Cerita ini mulai menggugah
penasaran para pembaca pada saat percakapan sang Anak dan Ayah sedang
membicarakan bahwa hidup itu di mulai di hate. Berikut percakapan tersebut
“kehidupan
dimulai dari halte,” gumamnya membuka percakapan, ia seolah sedang bicara pada
diri sendiri.....7
“kok bisa begitu
Yah?” tanyaku, memancing agar ia berbicara lebih banyak. 8
“Ya, memang begitu,” jawabnya. 9
“Bukankah kehidupan
itu dimulai dari ranjang, dari tempat tidur?” balasku. 10
“Dari halte!” jawabnya
lagi. 11
“Kenapa dari halte?” nada suaraku
seperti melecehkan pendapatnya. Wisnu hanya bisa senyum melihat cibiranku pada
ayah. 12
“Sesekali kalian pergilah ke halte,
perhatikan apa yang terjadi di sana”, kata ayah, tanpa emosi, menutup diskusi
pagi yang masih menggantung itu 13
(Bamby
Cahyadi :90)
3.
Pada tingkatan ini, tensi para pembaca
mulai meninggi. Hal tersebut di karenakan adanya permasalahan dimana tokoh Ayah
menghilang begitu saja dari rumah. Selain hal tersebut, rasa penasaran sang
anak tidak berujung sampai di situ ternyata sang anak mengunjungi halte sesuai
perintah ayahnya, berikut situasi
tersebut
“Sepanjang perjalanan, setiap ada halte aku memperlambat
laju mobilku, aku perhatikan dengan seksama ada apa di halte-halte itu”19 (Bamby Cahyadi :91)
4. Tahap
penyelesaian pada cerita ini dibuktikan dengan bertemunya tokoh Shinta dengan
sang ayah tepat di depan halte. Hal tersebut terlihat seperti kondisi berikut
..
Sebuah
bus kota berbadan besar berhenti di halte ketika aku dan Wisnu beranjak
berjalan dengan langkah gontai, rasanya lelah sekali menunggu tanpa kepastian. 57
“Shinta.....!” seorang memanggil namaku. 58
Aku sangat mengenal suara itu. Suara ayah. Aku dan
Wisnu meoleh ke belakang ke arah suara panggilan datang. Ayah baru saja turun
dari bus berbadan besar 59 (Bamby
Cahyadi:94)
5. Pada
akhir cerita ini Shinta mulai mengetahui arti “Halte” sesungguhnya. Tokoh Ayah
menceritakan bahwa Halte merupakan tempat orang-orang turun dan naik kendaraan
umum, menuju arah dan jurusan masing-masing, dalam artian disini Halte
merupakan tempat datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk kematian dengan
berbagai kendaraannya. Terlihat seperti pada kalimat ..........
“Shinta,
aku ingin kamu tahu bahwa kehidupan itu seperti di halte, tempat orang datang
dan pergi ke tujuanya masing-masing.” Ayah berhenti berbicara sejenak memandang
ke arah halte.64
“Datang untuk memulai kehidupan dan pergi untuk
kematian dengan berbagai kendaraan.” Ayah mengakhiri perkataannya dan menggandeng
tanganku pulang. Seketika itu aku tersadar . 65 (Bamby
Cahyadi:95)
Namun pada akhir bagian ini, diceritakan
bahwa tokoh Shinta hanya bermimpi. Kondisi tersebut yang membuat para
pembacanya merasa tercengang. Tetapi ini bukan hal yang buruk, ketika Shinta
mulai mengambil petikan dari mimpi tersebut dan bisa memaknai arti
kehidupan sebenarnya.
E. Latar atau setting
Adapun
latar atau setting yang terdapat pada cerita tersebut adalah :
1.
Di
ruang makan
“Dengan
sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan.”
2.
Di sekolah
“Setelah
menurunkan Pasya dan Rasya di gerbang sekolah”
3.
Halte
“
setiap ada halte aku memperlambat laju mobilku, aku perhatikan dengan seksama
ada apa di halte-halte itu. Sama seperti halte-halte lainnya, halte itu
dipenuhi orang-orang yang sedang menunggu kendaraan umum, orang-orang yang
sekadar istirahat, pedagang asongan dan penjual koran. Itu yang kulihat di
halte”. ‘’Sesampai di halte kami tidak menemukan
ayah”
4.
Suasana tegang
Ponselku berdering, aku meliriknya,
telepon dari rumah. Mbok Rah meneleponku.
“Mbok, ada apa?”
“Bapak sakit, Mbak!”
5.
Suasana panik
“Semua penghuni rumah panik. Ayah
tidak berada di meja makan. Di kamar juga
tidak ada. Ke mana ayah pergi sepagi ini?”
6.
Suasana haru
“Ayah lalu meraih pundakku,
kemudian ia memeluku. Aku menangis membalas pelukannya. Sudah lama sekali aku
ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Bahkan
sewakt ibu meninggal aku tidak melakukan hal ini. Aku meliat ayah sangat tegar,
bahkan ayah tidak menangis.
Aku menangis berhari-hari”
7.
Sore hari
“Matahari semakin miring ke arah
barat, sore pun tiba.” dan “Sebentar lagi malam tiba”
8.
Rumah sakit
“Rupanya
sedari tadi aku tidak berada di halte, tapi di rumah sakit, tertidur menunggui
ayah yang sedang sakit.”
F. Majas atau Gaya Bahasa
Penulis
dalam menceritakan isi cerita ada yang menggunakan gaya bahasa atau majas,
diantaranya :
1. Majas
Personifikasi
Majas
personifikasi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah
memiliki sifat-sifat kemanusiaan , yang mengiaskan benda-benda mati bertindak,
berbuat, berbicara seperti manusia.1
Contohnya
“
tanyaku, memancing agar ia berbicara lebih banyak”
1 www.sentra-edukasi.com/2009/09/definisi-pengertian-contoh-majas-majas.html
Diakses pada tanggal 18 Januari 2012 pukul 20.27 WIB
G. Nilai yang Terkandung
Sedangkan nilai
yang terkandung dalam cerita pendek “Halte” diantaranya adalah :
1. Nilai
Moral, terlihat pada kalimat
“Biasanya, sebelum memulai
percakapan, dengan sabar ia akan menunggu kami berkumpul di meja makan” 2 (Bamby
Cahyadi:89) “Sesekali ayah mengajak mbok
Rah, pembantu kami, untuk bergabung. Dan biasanya, mbok Rah menjadi penengah
bila diskusi kami mulai memanas hingga membuat tekanan darah ayah meninggi” 2
(Bamby Cahyadi:89)
“Datang untuk memulai kehidupan dan pergi
untuk kematian dengan berbagai kendaraan.” 65 (Bamby Cahyadi:95)
2. Nilai
Sosial, terlihat pada kalimat
“Aku mencari di halaman sampai
menanyakan pada beberapa tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah
mereka. Mbok Rah aku perintahkan mencari ayah, di pasar dekat rumah” 23 (Bamby
Cahyadi:91)
3. Nilai
Kemanusiaan, terlihat pada kalimat
“Aku menangis membalas pelukannya. Sudah
lama sekali aku ingin melakukan hal ini, memeluknya erat dan menangis di
pelukannya” 36 (Bamby
Cahyadi: 93)
“Ayah tersenyum sambil mengelus-ngelus
tanganku, senyumnya sangat kuat dari balik masker oksigen yang dikenakannya” 66
(Bamby Cahyadi:95)
H. Amanat
Adapun amanat
yang terkandung dalam cerpen “Halte” yaitu menceritakan bahwa Halte merupakan
tempat orang-orang turun dan naik kendaraan umum, menuju arah dan jurusan
masing-masing, dalam artian disini Halte merupakan tempat datang untuk memulai
kehidupan dan pergi untuk kematian dengan berbagai kendaraannya.
I. Ringkasan
Cerita
Ini lah salah satu cerpen karya
Bamby Cahyadi cerpen Halte adalah cerpen
yang sangat kuat menggugah kesadaran batin pembaca akan hakikat hidup manusia.
Dalam Halte, rasa ingin tahu kita dipancing terus. Mengapa sang ayah yang uzur
dalam cerita ini selalu menganggap halte sebagai sebuah tempat yang penting ?
Cerpen
ini menceritakan tentang seorang ayah yang senang membuka forum diskusi mini
dengan keluarganya. Suatu ketika dimana
keluraga itu sedang berkumpul untuk sarapan ayah memulai diskusi mininya
tersebut. Dalam diskusinya ayah beranggapan bahwa kehidupan dimulai dari halte,
namun anaknya tidak setuju dengan pendapat ayahnya. Kenapa kehidupan dimulai
dari halte?. Kemudian sang ayah menyuruh anaknya untuk pergi ke halte.
Keesokan
harinya sang anak membuktikan dengan datang ke halte dekat rumahnya. Ia tidak
melihat apapun yang ayah maksudkan. Ia hanya melihat orang yang berdagang di
pinggir jalan dan orang yang berlalu-lalang. Sebenarnya apa maksud ayah? Memang
sebelumnya ayah pernah mengatkan bahwa ayah tidak memiliki nafsu untuk hidup.
Tiba-tiba sang anak mendapat telepon dari pembantunya bahwa ayah jatuh sakit,
ia pun langsung tancap gas menuju rumah. Sesampainya di rumah sang anak tidak
menemukan ayahnya disana. Semua orang panik, kemana ayah pergi? Sang anak
langsung berpikir tentang diskusi ayahnya kemarin pagi,”bahwa kehidupam dimulai
dari halte”. Akhinya sang anak pergi ke halte untuk mencari ayahnya namun apa
yang di dapat, sang ayah tidak berada disana sampai matahari tenggelam. Sebelum
Shintia beranjak pulang, sang ayah memanggilnya dari kejauhan. Ternyata sang
ayah baru turun dari bis yang ia tumpangi. Rasa cemas sekaligus haru bercampur,
Sintia langsung menghambur memeluk ayahnya erat-erat.
Seketika
itu Shintia tersadar. Ayahnya tersenyum sambil mengelus-ngelus tangan Shintia,
senyumnya sangat kuat dari balik masker oksigen yang dikenakannya. Rupanya
sedari tadi Shinti tidak berada di halte, tapi di rumah sakit , menunggui
ayahnya yang sedang sakit. Ia teringat kata-kata ayahnya “ Shintia, aku ingin
kamu tahu bahwa kehidupan itu seperti di halte, tempat orang datang dan pergi
ke tujuannya masing-masing. “ , dia
terus berfikir , merenungkan makna kata-kata ayahnya dalam mimpinya. Shintia
tersenyum.
J. Kesimpulan
dari analisis
Cerpen “Hlate”
karya Bamby Cahyadi ini merupakan cerpen yang sangat kuat menggugah kesadaran
batin para pembaca akan hakikat hidup manusia. Dalam Halte, rasa ingin tahu
kita dipancing terus: Mengapa sang ayah yang uzur dalam cerita selalu
menganggap halte sebagai sebuah tempat yang penting?
Namun pada akhir
bagian cerpen ini , diceritakan bahwa semua itu hanya mimpi. Kondisi tersebut
yang membuat para pembacanya merasa tercengang Disinilah keunikan cerpen Halte
yang di garap oleh Bamby Cahyadi membangkitkan suatu kesadaran akan berbagai
sisi kehidupan manusia yang mirip dengan apa yang pernah kita alami dan juga
mengajak kita untuk berimajinasi. Itulah yang membuatnya berhasil menarik minat
para pembaca .
Terima kasih, cerpen HALTE karya saya ini sudah dianalisa dengan sedemikian mendalam. Semoga bermanfaat.
BalasHapusAmin, Terima kasih juga telah mengirim inbox ucapan "terima kasih" mas saya jadi merasa bangga :) . Sukses selalu mas Bamby cerpennya bagus-bagus . seluruh cerpen yang ada di buku Tangan untuk Utik telah di analisis oleh saya dan kawan-kawan mas :) .
BalasHapus